powered by ★bintangkwecil

Jumat, 27 Mei 2011

Kasih

Let's love like we've never been hurt before
Let's dance like no one is praising us
Let's sing like no one is listening to us
Let's work like we don't need money for it
Let's live like today is doomsday

Teguran untuk saya dilayangkanNYA. Bermula dari malam itu setelah kepenatan yang melingkupi saya, sehingga saya pun menulis postingan yang agak kasar tadi subuh. Ah, ide itu datang dari mana saja, termasuk dari emosi. Sungguh memaafkan itu bukan hal yang ringan, tetapi jika kita mampu melakukannya akan terasa nikmat. Waktu tidur yang hanya beberapa jam dan membuat badan saya demam, tidak membuat saya menyerah. Saya bangkit dan memulai pagi ini dengan harapan lebih baik. Semoga saya tidak jatuh dalam dosa lagi, dalam kebencian, dendam, dan kemarahan.
Semua terjadi begitu saja, sungguh bukan keinginan saya sebagai makhluk duniawi, tetapi saya percaya DIA telah mengutus Roh Kudusnya untuk menuntun saya. Sebuah message singkat untuk teman yang saya benci, saya kirimkan dini hari. Hanya satu kata. Bahkan saya sendiri pun heran kenapa saya melakukannya. Dua jam sesudahnya, saya terus berpikir, bergantian antara sinema di TV dan tindakan saya tadi.

Bukan suatu kebetulan. Itu yang saya yakini. Akan tetapi cerita di TV yang saya lihat sampai jam 2 lebih juga menceritakan tentang dendam. Tentu saja ada permenungan di situ. Bahwa dendam dan amarah itu tidak ada gunanya, hanya akan menimbulkan kebencian yang lebih besar dan tidak ada habisnya. Pagi ini pun saya menelepon teman yang sedang berselisih paham dengan saya. Begitu saja, sangat natural. Saya sendiri kaget dengan suara yang keluar dari tenggorokan saya. Ringan tanpa beban. Saya baru merasakan shock ketika menutup percakapan di telepon. Apa yang sudah saya lakukan barusan? Sisa - sisa kepedihan karena memendam amarah semalam muncul kembali.

Selanjutnya, 'tanda' itu muncul kembali ketika saya membaca postingan di sebuah forum, melalui komputer kantor. Saya ditegur di situ. Ah, Tuhan keren juga join di situs seperti itu, batin saya. 

Nah, Bulan Maria ini tidak sekalipun saya ke Gereja setiap Jumat. Hari ini bos saya mengajak. Tidak seperti biasa, saya tidak dapat menolak, seolah saya harus ke sana. Dan, di situlah Tuhan memanggil saya. Tidak ada bentakan, tamparan, atau cercaan. DIA mendekap saya dengan sabda - sabda yang Romo bacakan. DIA mengusap kepala saya seperti seorang Bapa melalui kotbah dari Romo.

(9) I have loved you, [just] as the Father has loved Me; abide in My love [ continue in His love with Me].
    Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.

(12) This is My commandment: that you love one another [just] as I have loved you.
 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

(13) No one has greater love [no one has shown stronger affection] than to lay down (give up) his own life for his friends.
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

 (17) This is what I command you: that you love one another.
Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.

Demikian ayat dari Kitab Suci hari ini, diambil dari Injil Yohanes 15.  Saya tersenyum di sana. Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Mungkin. Eohhh, begitu susahnya Tuhan untuk menjadi orang baik.

Ada lagi, saya jarang sekali berjabat tangan dengan Romo seusai misa, tapi kali ini....Haduh, saya tunduk Tuhan. Tiba - tiba saja, bos saya menyuruh memberikan stipendium untuk Romo. Ini pun di luar kebiasaan. Finally, saya menjabat tangannya untuk memberikan stipendium. Ada damai di hati saya. Tuhan, jika Engkau ngeblog juga dan membaca tulisan saya ini, saya terharu. Benar - benar terharu.

Setelah kembali ke kantor, saya melanjutkan membaca artikel, kali ini tentang ajaran suatu agama. Lagi - lagi saya di hadapkan pada artikel tentang pergumulan. Bahwa memang kebencian itu harus dihilangkan agar tidak menambah karma. Begitu banyak cara Tuhan untuk menenangkan hati saya. Ah, Tuhan ada dimana - mana.

Malam ini, niat saya untuk menulis cerpen terhambat. Lucunya lagi karena film. My Lovely Kim Samsoon. Saya menonton dua episode terakhir. Menunda jam makan saya, mengesampingkan pegal seluruh badan, dan acuh dengan suhu badan yang sedikit naik. Ada pelajaran di sana. Begitu banyak tanda tak kasat mana. Tuhan itu ada dimana - mana. Roh Kudusnya bekerja. 

God,
Let me correct this sentence : If you don't want to hurt, then don't fall in love.
But, I'm falling in love with YOU, My Lord. I'm sure because just in YOU, I believe I never felt hurt.
Love YOU
Thank's

~`aR~



SAJAK UNTUK TUAN

Neraka, 27 Mei 2011

Untuk yang paling saya benci, Tuan Ba*****n,

Tuan Ba*****n,
Saya membenci Anda sampai ke ubun – ubun. Hati saya panas dan cinta kasih yang diajarkan Tuhan menguap. Anda memang lihai dan berpengalaman. Terlebih untuk merusak hidup seseorang. Sungguh hidup ini hanya permainan bukan sandiwara. 

Tuan Ba*****n,
Neraka mungkin tidak ada bagi Anda, maka Anda bisa berbuat seenaknya. Heh, asal Anda tahu saja, saat ini saya membuktikan neraka itu nyata. Terpanggang saya di sini dengan siksaaan yang tiada habisnya. Sementara Anda masih saja berkutat dengan keduniawian, melupakan saya.

Tuan,
Aspirin tidak akan mempan membunuh sakit yang saya derita. Pening kepala saya seperti ribuan kata masuk melalui satu jalan. Berdesakan dan merangsek masuk ke dalam. Mungkin menurut kamus Anda istilahnya cenat cenut dan saya menyebutnya cenat penat. Yah, Anda dan saya memang berbeda. Hahaha....Maapkan ketololan saya.

Tuan,
Malam ini untuk kesekian kali badan saya demam. Akhhhhhhhhh, rasanya benar – benar sakit kepala.

Anda itu a****g dan Ba*****n. A****g dan Ba*****n yang saya sayangi sampai sekarang. 



NB : beberapa kata diedit untuk memenuhi etika kesopanan

~`aR~

Senin, 23 Mei 2011

PERON SETELAH SENJA

Uban – uban di rambutnya tertangkap lampu kereta ketika rangkaian gerbong itu memasuki stasiun Gambir. Aku tersenyum getir. Beberapa helai rambut tua itu pernah dia minta untuk dieksekusi tapi aku menolak. Aku menyukai kealamiannya. Setiap perubahan fisiknya yang menjadikan orang melotot tajam atau mendengus kesal. Perut yang membuncit, seperti beruang kutub. Kulitnya yang menghitam seperti lebah yang setahun berjemur di padang Alaska. Helai – helai rambut yang memutih dan aku bisa memanggilnya kakek sihir. Kumis dan jenggotnya seperti  ornamen lukisan di sebuah rumah. Nilai artistiknya tergantung dari kacamata pengamat.

Lelaki itu duduk di sebelahku sekarang. Berjarak kurang lebih 30 cm. Dia tak pernah menatapku dan sibuk dengan jari – jarinya. Lantas, aku? Aku hanya memainkan botol air mineral sambil sesekali melihatnya. Memastikan bahwa dia adalah dia, bukan siluman laba – laba atau kalajengking jantan. HP-nya bergetar di dalam saku celana dan dia tetap saja diam. Aku tersenyum getir lagi.

Seorang ibu tua menghampiriku. Dia hanya melirik sekilas. Ibu itu menyodorkan tiket jurusan Solo. Ah, seorang penumpang kereta Argo Lawu rupanya. Aku mengantarnya kepada petugas peron karena aku sendiri tidak tahu di jalur berapa kereta akan datang. Aku kembali duduk di sebelahnya. Berjarak kurang lebih 25 cm. Suasana masih saja dingin. Entah karena malam atau kebekuan yang terjadi di sela – sela kami. Aku mengusap hidungku dan menghela nafas lega. Syukurlah, nafasku belum menjadi gletser. Aku merapatkan cardigan pinkku. Kado anniversary pertama kami. Aku tersenyum getir untuk ketiga kalinya. 




Petugas peron dan ibu tadi melintas di hadapan kami. Ah..ibu. Sosok yang menguatkan kami ketika peleburan dua negara terjadi. Kini mereka bersekutu dengan takdir dan kami tidak mampu berdiri. Riuh suara mereka ketika menceritakan masa kanak kami masih terasa. Aku masih ingat bocoran yang aku dapat. Sambal mentah dan daging dekat tulang. Aku menang dan kamu kebingungan. Hmmm, apa kabar mereka di sana? Apakah mereka merasa kegaduhan hati kita? 




Aku pun teringat dengan bapak – bapak kita. Benarkah mereka reuni di surga sana? Kita belum pernah bertanya pendapat mereka. Aku yakin mereka lebih bijaksana. Aku pun berharap mereka ikut andil dalam rencana pembukaan usaha dua keluarga. Bukankah itu cita – cita kita? Selalu kamu diam saja. Ups, aku lupa. Sambungan telepati kita sudah kadaluwarsa. 
Aku tidak tahu harus berbicara apa. Aku rasa dia pun juga sama. Kesatuan dari kami juga sudah hilang. Membentuk gerakan separatisme. Tidak ada lagi otonomi hati. Hanya saja kami tidak tahu kapan akan sanggup berdiri di podium, mengenakan peci hitam dan membacakan proklamasi. Aku pun melipat benderaku. Sengaja tidak ingin mempublikasikan bahwa hari ini aku adalah presiden di hidupku sendiri. Aku meremas kertas perjanjian hubungan bilateral yang dia minta. Aku pernah berjanji akan menandatanganinya ketika kami sama – sama merdeka. Janji yang aku benci sekarang ini. 

Seharusnya kami merasakan euforia, tetapi aku tidak. Malah mengheningkan cipta dan menghitung laron yang jatuh di pangkuan. Aku menyentilnya satu per satu. Total ada tujuh. Aku berdiri dan berjalan mondar mandir di hadapannya. Tidak tahu harus bagaimana. Orang – orang mulai memperhatikanku. Rambut singa, mata merah, nanar pandangan. Lalu aku berhenti dan mematung. Dia menengadahkan kepala.

“ Apa? “ tanyanya dengan suara tertahan.

Aku Aku duduk di pangkuannya. Dia diam saja. Aku menggengam tanganya. Dia pun diam. Dalam hitungan detik aku berdiri dan merobek kertas perjanjian bilateral kami. Matanya menutup sekejap dan kembali menatapku kesal. Aku membalas pandangannya dengan sikap menantang. Aku sering kali menyiksanya dengan sikap ini. Ahhh, siapa yang tidak meradang jika takdir menghadang?

“Kenapa kamu begitu keras?” Sebuah pertanyaan retoris diajukannya.

Aku hanya meremas pundaknya, dia masih menatapku dengan pandangan bertanya. Aku tidak bisa memulai hubungan bilateral ini. Prinsipku, jika merdeka, biar aku mengurusi negaraku tanpa intervensi negara lain. Aku pun menentang otonomi daerah yang pernah dia tawarkan. 

Demikian kami yang tidak lagi menjadi kami. Kami bergandengan tangan dan berjalan pulang. Kebisuan menjadi pihak ketiga. Biarkan saja pertanyaan – pertanyaan menggeliat di kepala. Aku hanya ingin menikmati berjalan di sebelahnya tanpa perlu bersuara. Jangan dengarkan isak tangisan, itu hanya fatamorgana malam yang kalian dengar. Tak perlu juga pikirkan headline apa yang akan muncul di tabloid halaman depan. Sungguh kami sedang enggan untuk peduli pada wartawan maupun hujan, serta kilatan – kilatan yang membuatku ketakutan. 

Terimakasih mantan.

~`aR~

Minggu, 22 Mei 2011

ELEGI UNTUK IBU


Ibu,
Ombakkah yang menelan bapak?
Sebab di sekujur jasadnya tak ku temukan bekas kapak
Ah, aku jadi gagu melihatnya tergeletak

Ibu,
Sakitkah kematiannya kala itu?
Sebab dalam ingatanku telinganya luka berdarah
dan di luar sana diberitakan beberapa tulangnya patah
Lidahku kelu untuk membantah

Ibu,
Masihkah dia mendengarku
Meski terbujur kaku dan membisu

Ibu,
Atau jangan – jangan karena kenakalanku
Bapak akhirnya pergi berlalu
Di usianya yang ketigapuluh tujuh 

Ibu,
Bagaimana hidup kita setelah ini
Bapak benar – benar sudah mati
Lihatlah adik, menjadi yatim di usia dini
Dan masihkah kau menjadi seorang istri?

Ibu,
Di pangkuanmu aku mengadu
Besok hari terakhir aku harus membayar buku
Dan adik merengek meminta susu
Sampai kapan aku harus menunggu
Kau pun tahu warisan ayah hanya paku dan kayu

Ibu,
Jangan terus menangis
Aku pun luka teriris – iris
Tak menyangka ini menjadi kado ultahmu paling tragis

Tuhan,
Di depan altarmu aku bersujud
Namun menyakiti hati ibu bukan maksud

 ~`aR~

CERPEN : SIAPA AKU ?

Hari ini kau mempertanyakan identitasku. Ah, kenapa kamu menanyakan di depan kopiku? Lihat, mereka lantas mengernyitkan dahi dan mengelompokkan diri. Kelompok gula mendapat tempat di dasar cangkir. Mereka memasang radar Thompson buatan Perancis yang sering digunakan oleh TNI AU Indonesia. Kelompok kopi memasang muka innocent, sok cuek, padahal hati dag dig dug menunggu pengakuanku. Kelompok creamer menduduki posisi paling atas dan memasang telinga kuat – kuat.  

Kamu lekat menatapku dan aku berusaha menjawab melalui pandangan kita. Nafas – nafas yang aku hela adalah jawaban. Ah, pori – pori kulitmu menutup. Mereka enggan memberitahumu siapa aku. Pupil matamu meredup seolah tak mau tahu. Siapa yang bisa membantuku? Hatimu? Itu sudah lama aku tinggalkan, kamu pun tahu itu. Otakmu berkeliaran dan menyerang habis – habisan. Cukup !!! Urat nadiku memberontak, hingga menimbulkan benjolan – benjolan di kulit tangan dan kaki. Kamu bergidik ngeri. 

Aku menatap kopiku. Mengaduk tiga kelompok itu agar melebur menjadi satu. Gula, kalian tahu, radarmu hanya berfungsi 12 jam, sementara jawaban yang kamu tunggu mungkin belum muncul. Kopi, tetaplah polos dan mengeluarkan pahitmu. Creamer, telinga kirimu tidak utuh. Rusak karena dentingan gelas yang pecah di sebelahmu. Lebih baik kalian melebur dan menjadi minumanku. Aku meneguknya. Rasanya seperti empat senar dalam biola, GDAE, yang digesek menggunakan bow  dan menghasilkan harmoni syahdu.

Jemarimu mencengkeram bahuku kuat. Aku tersenyum. Masih saja kamu tidak tahu siapa aku. Tidakkah kamu ingat senyumku? Menyambutmu ketika keringat membanjiri kaos putihmu. 

Aku menyodorkan semangkuk sayur asem. Kamu mencium aromanya dan kembali menatapku. Maaf, mungkin sayur ini terlalu asam karena beberapa tetes keringatku ikut teraduk. Menjinjing keranjang sayur dari pasar cukup menguras energiku. Apalagi aku sempat berdebat dengan tukang sayur karena menipuku dengan asam muda. Bukan masalah rupiah, tetapi kepuasanmu ketika menyeruput kuah sayur asam ini memang tidak bisa dibeli dengan kepingan mata uang manapun.

“Aku pengen nambah”

Katamu waktu itu sambil tersipu. Dan dalam sekejap kamu menghabiskan sayur asemku lengkap dengan kerupuk – kerupuknya. Tersenyum kekenyangan. Sekali lagi, aku tertawa geli karena keringat berlomba membanjiri wajahmu yang legam. 

Kali ini kamu melirik laptopku. Memutar sebuah lagu. Kamu mengernyitkan dahi. Menikmatinya tanpa mempedulikanku. Seolah ini lagu yang baru pertama kali kamu dengarkan. Aku menyebutkan judulnya. Kembali tatapanmu tegang. Padahal ini lagu darimu. Alter Bridge. Masihkah kau ingat itu? Kamu malah menarik tanganku dan bertanya hal yang sama.

Aku menyeruput kopiku. Hanya tersisa pahitnya saja. Aku sendiri tidak tahu menghilang kemana gula tadi. Aku memandangmu.

Aku si jelita di mata ibu

Anak kecil yang termangu 
karena rindu dipangku bapakku

Sang gadizz yang pernah menginspirasimu
menulis sebuah lagu 

Masihkah kau bertanya siapa aku???


(kata Bang Rhoma : TER-LA-LU)


~`aR~

SALAH INGAT

Sepi adalah bercengkerama denganmu melalui mimpi
Sendu adalah mengeja senja tanpa rindu
Musikalitas nafas membeku di ujung ubanmu
Membentuk orkestra yang aku namakan pilu
Aih, ingin aku bergelayut manja di bahumu
Sambil berhitung jumlah tumbuhan di jenggot dan kumis tipis
Dan,
Tatapan matamu melahirkan seribu partitur nada tanpa suara
Maka sunyi adalah di sini

Ketika tiba di pertengahan hari
Hanya gerimis kecil yang merintih
Angin pun membawa lari putik - putik
Serta helai – helai rambut yang mengingat jari – jarimu
Sebelum mataku menjadi sayu
Senandungmu kala itu :
Nina bobo oh nina bobo
Kalau tidak bobo
Digigit beruk

Aku terhenyak !!!
Lantas tersedu :
Ternyata laki – laki itu bukan ayahku.

: tapi mantan lelakiku.

~`aR~

Sabtu, 21 Mei 2011

FOR WINDY

Wedding.
Saya akan bercerita tentang seorang teman yang bukan teman. Hahaha. Dia seorang teman tapi kami jarang bertemu. Lucunya, saya pernah memasukkannya dalam list ‘teman’. 

Jangan bertanya bagaimana pertemuan saya dengannya. Itu sudah terjadi entah kapan dan di dunia mana. Hahaha. Namanya Windy. Umur berapa, suku apa, dan tetek bengek lainnya saya benar – benar tidak tahu. Saya hanya tahu namanya Windy. Perempuan yang excited dengan rencana pernikahannya. Suaranya yang penuh semangat dan kadang jika mengingatnya, itu menjadikan semangat juga bagi saya. Wajahnya klasik chinesse. Alumni PTS di Yogyakarta.

Saya ingin bercerita tentang dia karena ini adalah hari spesialnya :

HER WEDDING.

Biasanya saya akan sangat antusias dengan hal – hal semacam itu. Mungkin saya ini termasuk weddingholic. Hahaha entahlah, kelainan apalagi yang ada di dalam diri saya. Begitu juga ketika saya akhirnya mendapatkan undangan weddingnya. Sebulan yang lalu dia pernah menyampaikan hal ini, tentang rencana pernikahannya. Ah, tetap saja saya surprise menerima undangan itu. Ada kehangatan yang masuk di antara rongga – rongga paru – paru. 

Lama saya memandangi undangan itu di layar komputer saya (karena invitation itu melalui e-mail). Saya mengabaikan pekerjaan – pekerjaan yang ada. Mengeja setiap huruf di dalamnya. Ah, Windy, finally. Rasanya tidak cukup jika hanya 5 menit atau 10 menit tersenyum. Kebahagiaan dan keharuan itu juga milik saya. 

Today,

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Her time. 

Saya masih duduk di lantai kamar, mengenangnya. Mengingat ceritanya yang selalu diselipi tawa. Perlengkapan honeymoon yang dibelinya beberapa waktu lalu. Hahaha. Saat itu saya ingin duduk di sebelahnya dan mendengarkan semua ceritanya. I wish I could Wind. 

Tidak terasa 20 menit sudah berlalu.

Pikiran saya melayang jauh, ke sana, tempat digelarnya acara. Sebuah gedung di daerah Mangga Besar. 

Wind, pasti hari ini kamu cantik banget dan merasakan kebahagiaan yang mungkin belum pernah kamu rasakan sebelumnya. Bersamanya, ‘masmu’ (demikian dia selalu mengistilahkan untuk pasangannya), menjalani fase berikutnya. Bagaimana rasanya Wind, memasuki ruangan dimana orang – orang menantikan kehadiranmu? Bagaimana rasanya Wind, tersenyum terus menerus walaupun mungkin urat – urat bibirmu pegal? Bagaimana rasanya Wind, menjadi ratu dalam semalam? Sungguh saya  yakin kamu bukan Cinderella yang besok pagi akan menjadi upik abu. 

Saya menghela nafas panjang. Memandangi keset Hello Kitty yang saya beli dari Bangkok beberapa bulan yang lalu. Adakah nasibnya lebih baik selain menjadi keset? Aih, ini hanya intermezo Wind.

Wind,
Happy Wedding,

Semoga apa yang dipersatukan oleh Tuhan benar – benar tidak dapat diceraikan oleh manusia. Semoga kamu pun bisa beranak cucu dan memenuhi bumi, sesuai perintah-NYA. 

Jalani kehidupanmu yang baru dengan nafas – nafas Injil dan indahnya firman- firmanNYA.

Sanggup menjadi istri yang luar biasa bagi suamimu meskipun dalam kehidupan yang biasa. Perkokoh dia dengan cintamu dan bisiki dia dengan cintaNYA. Dan selalu katakan padanya :

I’m the little and you’re the big one. 

Jika dia mengatakan ini padamu :

I Love You

Maka jawablah :

I Love You More.

Bukankah menyenangkan jika kita pihak yang dicintai, tapi itu hal yang biasa. Tetapi kadang menyakitkan apabila kita yang mencintai, tapi itu hal yang luar biasa, dan tidak semua orang sanggup melakukan itu. Mencintailah sampai terluka, meneladani cinta Yesus yang tidak ada habisnya.

May God Bless You

~`aR`~

Rabu, 04 Mei 2011

TULANG RUSUK (1)


Hari ini saya akan berbicara mengenai tulang rusuk. 

What do you think?

Silahkan kalian menceburkan diri ke dalam laut jika menganggap saya telah menemukannya.
Bukan itu. Lebih ke pemahaman diri mengenai itu.

Video pernikahan Choky Sitohang dan istrinya Melisa serta buku Habibie menginspirasi saya tentang satu hal : HAPPY ENDING dalam dongeng masih mungkin terjadi.  Hal yang saya harapkan dari kecil. Dan saat ini siapa lelaki yang saya cintai, saya akan menjawab : AYAH. Begitu ingin saya menikahi beliau, sosok familyman yang saya idamkan. But, It’s imposible. Never mind.

Pemikiran saya tentang tulang rusuk mungkin berbeda dengan kebanyakan orang. Masing  - masing orang diciptakan berpasangan. Saya tahu itu. Jodoh ada di tangan Tuhan. Saya pun tahu itu. Akan tetapi saya ini tipe pejuang, dengan semangat 2011 akan berjuang mendapatkan tulang rusuk itu atau mengambil jodoh itu di tangan Tuhan. Come on, jika kita hanya diam saja selamanya jodoh itu akan tetap di tangan Tuhan kan? Tuhan tidak mungkin memberikan tulang rusuk kita serta merta dari langit. Aih, saya tidak percaya hal itu. Kalau pun itu terjadi mungkin saat ini saya akan menentukan spot yang bagus untuk mendarat. Yah, jika Tuhan mengirimkan saya untuk sang tulang rusuk, saya pasti akan dijatuhkan di langit. Dan tidak lucu jika saya salah mendarat, di atas tahi kebo misalnya. Saya juga akan pergi ke salon terlebih dahulu, creambath dengan produk Kerastase, make up dari The Body Shop, gaun dari Prada, tas Hermes, sepatu Jimmy Chocho, emas dari Dubai, dan berlian dari Gassan Amsterdam. Tidak lupa saya akan meminta Darwis Triadi untuk mengambil foto saya, lumayan jika saya lagi konyol bisa mencontek gaya anak narsis dengan pose kembungin pipi sok chubby, atau pegang pipi. Ahhh saya malah pengen hachi membayangkannya. 

Heiiiiiii.....
Itu tidak terjadi di jaman sekarang. Kita bahkan tidak tahu dalam rupa apa kita nanti bertemu tulang rusuk. Tempat pertemuan pun kita tidak bisa memilih. Bisa jadi pas kita lagi bangun tidur ada orang ketuk – ketuk pintu pagi – pagi, begitu di buka...sssshhhh....tukang galon. Dan dialah jodoh kita. Atau kita lagi naek bis, kecopetan,eh ternyata si pencopet itulah jodoh kita. Who knows? Masalah waktu pun kita tidak tahu. Entah di umur 17tahun, 21, 23, 25, 27, 30, 33, 35, 37...sekali lagi : Who knows?

Kemisterian tulang rusuk itulah yang membuat saya berhati – hati dalam menjalin hubungan. But, I’m just a human. Selalu saya tegaskan I AM JUST A HU-MAN. Saya tidak luput dari kesalahan. Silakan mendakwa saya. Toh, bukan kalian yang menentukan dengan siapa saya akan ‘hidup’ nanti. Keputusan itu...kalian tahu?

Coba ada dimana?

Ayo tebak !

On my hand....tentu saja dengan approval dari itu tuh...si DIA.

Saya tidak sedang mencari tulang rusuk. Saya hanya tidak sabar hidup settle. Sebenarnya saya jenuh dengan kehidupan yang sekarang. Tidak mempunyai tujuan. Rasanya ingin segera melewati fase ini. I’m stupid girl, so, coret saja beberapa kalimat di atas.

Sekali lagi ini hanya ocehan saya. Saya tidak sedang mabuk. Oww..tentu saja tidak. Haram bagi saya untuk memabukkan diri. Saya hanya..emmm...hanya...yaaahhh..sedikit frustasi. Because what?
Ah, kalian ini want to know aja.

See ya....you know you love me. XO XO...-stupidgirl-

~`aR~


Minggu, 01 Mei 2011

PENCOBAAN

Bangku – bangku Gereja masih banyak yang kosong. Hanya ada beberapa orang yang terlihat berlutut dan memejamkan mata. Mereka yang tua dan beruban. Aku memilih duduk di bangku tengah. Diam dan memandang altar. Seorang nenek berpakaian kuno duduk di sebelahku. Aku memandangnya sekilas. Dia tersenyum. Tangannya gemetaran memegang tongkat. Bau minyaknya menyengat. Entah berapa liter dia menghabiskan minyak itu. Mungkin ini yang disebut minyak nyongnyong. 

Lagu pembukaan tanda dimulainya misa merebut perhatianku. Dan prosesi lainnya, satu demi satu seperti sebuah film, diputer di depan sana. Kalau saja ini bioskop mungkin ini film 3 Dimensi. Aku sama sekali tidak terlibat walaupun ada di dalam sana. Menjadi bagian dalam film itu. 

Mungkin di antara kita sering kali mengalami hal seperti ini. Niat yang begitu besar untuk berdoa tetapi padam ketika sudah kita realisasikan. Saya tidak akan menyebut agama saya hanya sebatas KTP saja. Tentu tidak. Hanya saja saya dan beberapa orang yang mungkin mengalami hal yang sama sedang hmm...tidak tahu apa yang terjadi. Hahaha.

Ketenangan dan kedamaian yang kita cari dalam doa sering tidak kita temukan. Apapun agama kita pasti ada orang – orang di luar sana yang sama dengan saya. At least pernah mengalaminya. Saya tidak menyerah dengan kondisi ini. Terus mencoba dan membuka hati untuk Tuhan. Itu saja. Percaya bahwa Tuhan tidak meninggalkan kita, tetapi kadang kitalah yang meninggalkan dia. 

Mari, kita semua, seiman atau bukan, saling mendoakan agar kita semakin diperkuat dan tahan dalam pencobaan.

~`aR~