Saya mau berbagi tentang sebuah cerita. Honestly, ini adalah bagian dari kegagalan saya untuk membuat novel. Jabang buku ini gugur di tahun 2011, hanya berselang beberapa bulan dari prediksi kelahirannya. Setting tempatnya di Roma, salah satu negara impian yang berat untuk dikunjungi (But I wish I could be there, someday). Jabang buku ini adalah pelampiasan energi negatif yang menjadi pergumulan saya kala itu. Unlucky, saya kesulitan dalam menerjemahkan ide otak untuk disajikan dalam bahasa 'manusia'. Yeah, I am an alien.
Jabang buku gugur karena beberapa 'pembaca awal' berkomentar bahwa mereka tidak mengerti apa yang saya maksud. Penyebab lain gugurnya jabang buku adalah (percaya nggak percaya) beberapa cerita di jabang buku ini menjadi kenyataan di dalam kehidupan saya. Akhirnya, saya menyerah karena takut jika endingnya akan menjadi nyata. Hahahaha...
Jabang buku gugur karena beberapa 'pembaca awal' berkomentar bahwa mereka tidak mengerti apa yang saya maksud. Penyebab lain gugurnya jabang buku adalah (percaya nggak percaya) beberapa cerita di jabang buku ini menjadi kenyataan di dalam kehidupan saya. Akhirnya, saya menyerah karena takut jika endingnya akan menjadi nyata. Hahahaha...
Marguerita adalah part jabang buku yang terinspirasi dari pertemuan saya dengan (alm) Bapak di "DreamLand" (Somewhere Only We Know) :D. Kala itu saya seperti berdialog dengannya dalam imajinasi (bahasa saya susah untuk dimengerti secara nalar ya? Hahaha)
Beliau adalah inspirator yang meneror saya untuk terus menulis. Memaksa saya menjadi arsitek di dalam imajinasi sendiri. Tonight, I miss him so much. Then, happy reading all :)
MARGUERITA
Aku melihatnya. Sosok yang aku harap menjadi mempelai laki – laki di altar nanti. Dia berdiri di sana. Diam. Tanpa ekspresi. Dadaku sesak, ada kerinduan yang menyeruak, membesar seperti karet yang direndam air tanah atau seperti kehamilan yang memasuki fase 9 bulan 9 hari 9 jam. Aku membeku dari ujung kaki ke atas. Ah, apa Bandung Bondowoso salah mengutuk orang?
‘Hei aku bukan Roro Jonggrang . I need to move.’
Aku ingin berteriak tapi ada sumbatan di tenggorokan. Ah, apa aku harus memanggil petugas kebersihan untuk membersihkannya? Siapa tahu sejak hidup di Jakarta beberapa tahun, di dalam tenggorokanku bersemayam sampah – sampah yang dibuang tidak pada tempatnya.
Laki – laki itu masih berdiri di sana. Memperhatikan keberadaanku. Pandangan matanya mengikutiku, bahkan setiap nafasku. Dia masih mengenakan jas abu – abu seperti terakhir kali kami bertemu. Hanya saja wajahnya terlihat lebih muda dan bercahaya. Cakep. He makes me melt.
Aku mengatur pernapasan dan berusaha mengendalikan keadaan. Kebekuan yang meracuniku perlahan meluntur. Beraturan. Kakiku terasa mulai menghangat, tenggorokanku rasanya bebas dari hambatan. Ini pasti pertolongan petugas Tol. Hmm, satu yang aku khawatirkan, headline di koran Jakarta besok tentang kenaikan harga tol karena petugasnya sudah go international, meng-cover area Roma juga. Aku bisa membayangkan reaksi yang akan muncul. Cacian dan kritikan sana sini.
Aku melangkah perlahan menuju ke arahnya. Lelaki itu sekarang tepat berada di depanku. Aku dengan mudah dapat menatap matanya, karena perbedaan tinggi kami tidak sejauh dulu. Tatapannya masih sama. Hangat dan penuh kasih. Aku tidak dapat membendung aliran air mata. Ah, ini keteledoran petugas penjaga Pintu Air Katulampa.
“Daddy...”
Aku menubruk dan termewek – mewek di dadanya. Dia memelukku erat, sangat erat sampai aku susah bernafas. Nyaman dan tenang sekali. Dagunya sesekali menekan kepalaku dan menggosok – gosokkannya. Kebiasaannya ketika aku masih kecil. Ya, ini lelakiku yang hilang 16 tahun yang lalu. Aku tidak salah lagi.
Kami duduk berdua di sebuah kursi kayu. Pemandangan yang membentang di depan kami adalah taman yang dipenuhi dengan bunga Marguerite. Bunga berwarna putih, kecil, dengan tinggi 0,5 meter dan diameter antara 4 – 6 cm. Angin bereuforia dengan mengalunkan nada biola yang begitu indah. Ah, angin melirik genit ke arahku.
Lelakiku berdiri dan melangkah beberapa meter di depanku. Mengambil sekuntum bunga Marguerite dan memberikannya padaku. Hmm, so sweet Dad ! Aku tersenyum. Aku merasakan pipiku terbakar, tapi jangan ada seorang pun yang memanggil Dinas Pemadam Kebakaran. Ini hanya ekspresi tersipuku. Dia masih mengingat bunga kesukaanku. Senangnya...
Aku memandang wajahnya tanpa berkedip dan dia membelai rambutku. Kumis dan jenggotnya masih tumbuh. Aku tertawa kecil melihatnya, seperti parutan kelapa. Jakunnya yang bergerak turun naik, seperti lift. Aku ingat ketika itu aku mencari – cari jakunku dan Daddy tertawa. Katanya, itu salah satu pembeda antara laki – laki dan perempuan.
“Kamu sekarang seperti Marguerita ini. Kecil. Memiliki kelopak selapis. Menggemaskan tetapi terlihat rapuh.”
Lelakiku menyentil setangkai Marguerita di tanganku dan kelopaknya gugur. Aku terhenyak. Lelakiku melingkarkan tangannya di bahuku. Erat dan mesra. Aku termenung. Dad, apa yang ingin engkau katakan? Sikapnya yang lembut ini biasanya berujung dengan pernyataan tegas seorang hakim, jaksa penuntut, ah bukan, pelatih mungkin lebih tepat.
“Perempuan kecilku adalah pemberani. Aku didik dia menjadi seorang yang tangguh. Dia adalah rumput, walaupun kecil dan sederhana, tetapi akarnya kuat masuk ke dalam tanah. Tahan terhadap badai dan angin, tidak takut hujan dan petir. Hijau dan mempesona dengan kesegarannya.”
Daddy, terdiam. Menatap wajahku. Ah, rasanya seperti ditusuk. Aku membayangkan jika matanya berubah menjadi merah seperti monster, aku pasti menjerit ketakutan. Hmm, bagaimana kalau dia menyeringai dan taringnya keluar. Ah, tidak !!! Aku menutup mata. Bergidik ngeri. Lelakiku membelai pipiku lembut. Pelan – pelan aku membuka mata, ah, masih lelakiku.
“Hidup ini adalah pertandingan, maka jadilah pemenang dari setiap masalah. Kuncinya : hadapi dan selesaikan, bukan menghindar.”
“Tapi Dad, ini terlalu berat...”
“Terkadang manusia menderita itu karena kelekatannya terhadap sesuatu, benda, tempat atau orang. Jika berpindah, maka manusia akan merasakan kehilangan dan ketidaknyamanan. Tuhan memberikan setiap hal dalam hidup bukan tanpa alasan. Ada kalanya DIA memberikan hal tersebut agar menjadi sebuah pelajaran. Tuhan menciptakan pelangi sehabis hujan, pagi setelah malam, kebahagiaan dan kesedihan. Orang – orang yang hadir dalam hidup kita, datang dan pergi, nikmati sayang. Jangan lupa bersyukur.”
Aku menunduk. Berat untuk mengiyakan semua petuahnya. Aku manusia, hatiku bukan hati malaikat untuk bisa melakukan itu semua. Aku duduk di pangkuan Daddy sambil menyandarkan kepalaku di dadanya. Itu kebiasaanku ketika sudah tidak dapat berkutik dengan kata – katanya.
“Vinccy, kembalilah jadi perempuan kecilku. Menarilah bersama kupu – kupu, menyanyilah bersama belalang dan katak. Daddy merindukan keceriaanmu lagi.” Tangannya mengusap rambutku lembut. Ah, aku merasakan ketenangan yang beberapa tahun ini telah hilang.
“Iya, Dad.”
Aku menjawab lirih, hampir tertidur. Ah, tidak. Aku mulai menyadari ini hanya mimpi. Aku mempererat genggamanku di bajunya. Berharap ketika aku terjaga nanti dia akan tetap aku genggam. Aku takut. Ketakutan yang luar biasa. Dad, jangan pergi lagi. God, give me more time to be with him.
~`aR~