powered by ★bintangkwecil

Senin, 23 Mei 2011

PERON SETELAH SENJA

Uban – uban di rambutnya tertangkap lampu kereta ketika rangkaian gerbong itu memasuki stasiun Gambir. Aku tersenyum getir. Beberapa helai rambut tua itu pernah dia minta untuk dieksekusi tapi aku menolak. Aku menyukai kealamiannya. Setiap perubahan fisiknya yang menjadikan orang melotot tajam atau mendengus kesal. Perut yang membuncit, seperti beruang kutub. Kulitnya yang menghitam seperti lebah yang setahun berjemur di padang Alaska. Helai – helai rambut yang memutih dan aku bisa memanggilnya kakek sihir. Kumis dan jenggotnya seperti  ornamen lukisan di sebuah rumah. Nilai artistiknya tergantung dari kacamata pengamat.

Lelaki itu duduk di sebelahku sekarang. Berjarak kurang lebih 30 cm. Dia tak pernah menatapku dan sibuk dengan jari – jarinya. Lantas, aku? Aku hanya memainkan botol air mineral sambil sesekali melihatnya. Memastikan bahwa dia adalah dia, bukan siluman laba – laba atau kalajengking jantan. HP-nya bergetar di dalam saku celana dan dia tetap saja diam. Aku tersenyum getir lagi.

Seorang ibu tua menghampiriku. Dia hanya melirik sekilas. Ibu itu menyodorkan tiket jurusan Solo. Ah, seorang penumpang kereta Argo Lawu rupanya. Aku mengantarnya kepada petugas peron karena aku sendiri tidak tahu di jalur berapa kereta akan datang. Aku kembali duduk di sebelahnya. Berjarak kurang lebih 25 cm. Suasana masih saja dingin. Entah karena malam atau kebekuan yang terjadi di sela – sela kami. Aku mengusap hidungku dan menghela nafas lega. Syukurlah, nafasku belum menjadi gletser. Aku merapatkan cardigan pinkku. Kado anniversary pertama kami. Aku tersenyum getir untuk ketiga kalinya. 




Petugas peron dan ibu tadi melintas di hadapan kami. Ah..ibu. Sosok yang menguatkan kami ketika peleburan dua negara terjadi. Kini mereka bersekutu dengan takdir dan kami tidak mampu berdiri. Riuh suara mereka ketika menceritakan masa kanak kami masih terasa. Aku masih ingat bocoran yang aku dapat. Sambal mentah dan daging dekat tulang. Aku menang dan kamu kebingungan. Hmmm, apa kabar mereka di sana? Apakah mereka merasa kegaduhan hati kita? 




Aku pun teringat dengan bapak – bapak kita. Benarkah mereka reuni di surga sana? Kita belum pernah bertanya pendapat mereka. Aku yakin mereka lebih bijaksana. Aku pun berharap mereka ikut andil dalam rencana pembukaan usaha dua keluarga. Bukankah itu cita – cita kita? Selalu kamu diam saja. Ups, aku lupa. Sambungan telepati kita sudah kadaluwarsa. 
Aku tidak tahu harus berbicara apa. Aku rasa dia pun juga sama. Kesatuan dari kami juga sudah hilang. Membentuk gerakan separatisme. Tidak ada lagi otonomi hati. Hanya saja kami tidak tahu kapan akan sanggup berdiri di podium, mengenakan peci hitam dan membacakan proklamasi. Aku pun melipat benderaku. Sengaja tidak ingin mempublikasikan bahwa hari ini aku adalah presiden di hidupku sendiri. Aku meremas kertas perjanjian hubungan bilateral yang dia minta. Aku pernah berjanji akan menandatanganinya ketika kami sama – sama merdeka. Janji yang aku benci sekarang ini. 

Seharusnya kami merasakan euforia, tetapi aku tidak. Malah mengheningkan cipta dan menghitung laron yang jatuh di pangkuan. Aku menyentilnya satu per satu. Total ada tujuh. Aku berdiri dan berjalan mondar mandir di hadapannya. Tidak tahu harus bagaimana. Orang – orang mulai memperhatikanku. Rambut singa, mata merah, nanar pandangan. Lalu aku berhenti dan mematung. Dia menengadahkan kepala.

“ Apa? “ tanyanya dengan suara tertahan.

Aku Aku duduk di pangkuannya. Dia diam saja. Aku menggengam tanganya. Dia pun diam. Dalam hitungan detik aku berdiri dan merobek kertas perjanjian bilateral kami. Matanya menutup sekejap dan kembali menatapku kesal. Aku membalas pandangannya dengan sikap menantang. Aku sering kali menyiksanya dengan sikap ini. Ahhh, siapa yang tidak meradang jika takdir menghadang?

“Kenapa kamu begitu keras?” Sebuah pertanyaan retoris diajukannya.

Aku hanya meremas pundaknya, dia masih menatapku dengan pandangan bertanya. Aku tidak bisa memulai hubungan bilateral ini. Prinsipku, jika merdeka, biar aku mengurusi negaraku tanpa intervensi negara lain. Aku pun menentang otonomi daerah yang pernah dia tawarkan. 

Demikian kami yang tidak lagi menjadi kami. Kami bergandengan tangan dan berjalan pulang. Kebisuan menjadi pihak ketiga. Biarkan saja pertanyaan – pertanyaan menggeliat di kepala. Aku hanya ingin menikmati berjalan di sebelahnya tanpa perlu bersuara. Jangan dengarkan isak tangisan, itu hanya fatamorgana malam yang kalian dengar. Tak perlu juga pikirkan headline apa yang akan muncul di tabloid halaman depan. Sungguh kami sedang enggan untuk peduli pada wartawan maupun hujan, serta kilatan – kilatan yang membuatku ketakutan. 

Terimakasih mantan.

~`aR~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar